ABC

Berbagi Pengalaman di Konvensi Ilmuwan Asia di Adelaide

Konvensi Internasional Ilmuwan Asia ke-9 (The 9th International Convention of Asia Scholars (ICAS 9) berlangsung di Adelaide Convention Center, 6 – 9 Juli 2015. Peneliti LIPI Lamijo, yang sedang S2 di ANU Canberra, termasuk sedikit dari mahasiswa yang  menjadi pembicara di konvensi tersebut.

Konvensi Internasional Para Ilmuwan Asia ini baru pertama kali diselenggarakan di Australia, dan ratusan ilmuwan sosial dari seluruh wilayah Asia hadir di konvensi yang diadakan setiap dua tahun sekali ini.

Ada lebih dari 200 panel yang tercatat dalam acara yang berlangsung selama 4 hari ini. Berbagai isu menarik di Asia dikemas ke dalam panel dengan tema yang spesifik, dari soal sejarah, demokrasi, migrasi, perempuan, urbanisasi, konflik Laut Cina Selatan, perdagangan, budaya, dan sebagainya.

Dari ratusan panel, kita bisa menghadiri panel dengan tema yang sesuai dengan minat dan bidang kepakaran kita. Ini menjadi kesempatan yang sangat berharga untuk menggali dan menambah pengetahuan berbagai isu yang berkembang di kawasan Asia.

Lamijo bersama dengan (dari kiri)  Prof Taufik Abdullah, Prof Yekti Maunati dari LIPI dan Prof I Ketut Ardhana dari Udayana  Bali (paling kanan) di Adelaide.
Lamijo bersama dengan (dari kiri) Prof Taufik Abdullah, Prof Yekti Maunati dari LIPI dan Prof I Ketut Ardhana dari Udayana Bali (paling kanan) di Adelaide.

 

Berhubung saya sangat tertarik dengan tema tentang Vietnam, saya selalu berusaha untuk bisa menghadiri diskusi panel yang ada isu tentang Vietnam.

Seperti dalam kegiatan konferensi besar lainnya yang terdiri dari ratusan panel yang pernah saya hadiri, banyaknya panel dengan waktu yang bersamaan memaksa kita untuk jeli memilih waktu dan panel yang akan kita hadiri.

Sebagai akibatnya, ada bebera panel yang sangat menarik temanya dibanjiri banyak peserta, sebaliknya jika panel tersebut kurang menarik maka hanya segelintir orang saja yang akan hadir.

Jadwal presentasi juga berpengaruh besar dalam banyak tidaknya peserta yang hadir dalam presentasi suatu panel.

Presentasi panel di hari-hari awal konvensi memiliki kemungkinan besar untuk dihadiri banyak peserta dan sebaliknya jadwal presentasi panel di hari-hari akhir cenderung semkin sedikit peserta yang hadir karena banyak presenter yang sudah presentasi cenderung sudah balik ke negara masing-masing.

Ini sedikit terdengar tidak fair memang, tetapi ini tampaknya menjadi fenomena umum yang terjadi di event besar seperti ini. Dari pengamatan saya, panel dengan tema yang sedang hangat selalu dihadiri banyak peserta, seperti panel dengan tema yang terkait dengan Laut Cina Selatan, demokrasi, dan tentang perempuan.

Namun, tidak jarang padatnya jadwal konvensi yang marathon membuat peserta bosan. Rupanya hal ini sudah diantisipasi jauh-jauh hari oleh panitia konvensi denganmenyiapkan berbagai event khusus selama berlangsungnya konvensi ini.

Tidak mengherankan jika di sela-sela panel, terdapat beberapa ageda penting yang dilaksanakan seperti Pakistan Summit, Interculturadelaide, Gamelan music performance, public lecture, treasure ships tour, Adelaide Oval tours, dan peluncuran program Jembatan.

Dari beberapa agenda penting tersebut, peluncuran program Jembatan  yang diinisiasi oleh Universitas Flinders merupakan agenda yang paling ditunggu oleh sebagian besar peserta konvensi, terutama dari Indonesia.

Hal ini terlihat dari animo undangan dan peserta yang hadir di acara launching program Jembatan pada hari kedua konvensi, Selasa, 7 Juli 2015 kemarin. Inisiasi Jembatan yang dibuka secara resmi oleh Konjen RI Sydney mendapat sambutan luar biasa dan disertai dengan penampilan tari dan musik dari mahasiswa Indonesia di Adelaide.

Mahasiswa dan Ilmuwan asal Indonesia dalam acara peluncuran Jembatan.
Mahasiswa dan Ilmuwan asal Indonesia dalam acara peluncuran Jembatan.

 

Jembatan berfungsi sebagai “rumah budaya” yang berbasis di Adelaide dan bertujuan untuk menjadi “rendezvous” aktivitas bersama komunitas Indonesia dan komunitas Australia Selatan dalam berbagai bidang dan terbuka juga untuk membangun kerja sama dengan akademisi, professional dan stakeholder lainnya.

Di antara ratusan ilmuwan Asia yang hadir di konvensi ini, saya adalah salah satu mahasiswa Indonesia di Australia yang beruntung bisa terpilih untuk memaparkan makalah saya di konvensi yang prestisius di kawasan Asia ini.

Konvensi ini menjadi ajang penting bagi saya pribadi untuk membangun relasi dengan ilmuwan dari Asia untuk berbagi dan bertukar pengalaman serta menimba pengetahuan, khususnya tentang Vietnam dari berbagai perspektif.

Dalam kesempatan ini, makalah saya tentang Vietnam tergabung ke dalam panel dengan tema tentang pembangunan di Vietnam, di mana di dalamnya terdiri dari dua ilmuwan orang Vietnam yang menulis tentang Vietnam, yang berasal dari disiplin antropologi dan politik.

Sebagai mahasiswa sejarah yang bukan orang Vietnam (non-Vietnamese), tentu menarik dan menjadi tantangan tersendiri untuk membahas tentang sejarah Vietnam, khususnya tentang pembangunan di negara tersebut pasca đổi mới (kebijakan renovasi).

Dalam kesempatan konvensi ini, saya berbagi pengalaman dengan memaparkan makalah tentang “From Contestation to Cooperation: Peran East West Economic Corridor dalam Pembangunan Perbatasan Vietnam – Laos” dengan fokus penelitian di perbatasan Lao Bao – Dasavanh di Propinsi Quang Tri, Vietnam Tengah.

Latar belakang saya menulis tema tersebut diawali dari keheranan saya terhadap Vietnam yang mampu bangkit dan “bermetamorfosis” dengan sangat cepat dalam hitungan beberapa dekade saja pasca Perang Vietnam, terutama setelah adanya kebijakan renovasi (Đổi Mới) pada tahun 1986.

Dari negara yang terkenal dengan kemiskinan dan kelaparan di hampir seluruh penjuru negara pada dekade 70an-80an, Vietnam kini menjelma menjadi kekuatan ekonomi penting di Asia Tenggara.

Apa yang ingin saya garisbawahi di sini bahwa kebijakan Đổi Mới menjadi titik balik perubahan terpenting dalam sejarah kontemporer Vietnam. Đổi Mới telah mampu merubah pandangan dunia terhadap Vietnam, dari Vietnam sebagai negara perang menjadi Vietnam sebagai negara dengan pertumbuhan ekonomi yang luar biasa.

Selain menjadi lebih terbuka terhadap orang asing dan dunia luar, implementasi kebijakan Đổi Mới juga menjadi tonggak penting bagi pembangunan dan pembukaan beberapa  perbatasan (border) secara resmi untuk mendukung kemudahan pergerakan barang, orang, dan jasa dari negara lain.

Salah satu perbatasan di Vietnam yang pembangunannya menjadi prioritas pasca Đổi Mới adalah perbatasan Lao Bao di Distrik Huong Hoa, Propinsi Quang Tri, di Vietnam bagian tengah, yang berbatasan langsung dengan Dansavanh, Laos.

Kebijakan Đổi Mới telah mendorong Vietnam mengadopsi perspektif baru tentang bagaimana membangun perbatasan bukan sekedar dalam konteks mengatasi konflik tetapi juga kerja sama ekonomi dan pembangunan regional di antara negara Asia Tenggara daratan.

Oleh karena itu, tidak heran jika perbatasan bukan lagi dianggap sebagai menjadi pintu belakang (backyard) negara, tetapi menjadi pintu depan (front yard) yang harus di tata dan dikelola dengan lebih baik. Dari sini kemudian muncul optimisme untuk menganggap perbatasan bukan lagi sebagai penghalang (barrier) hubungan antar dua negara¸ melainkan sebagai zona pembangunan yang strategis bagi dua negara yang berbatasan.

Terkait hal itu, Vietnam berhasil mengadopsi dan mengimplementasikan perspektif bahwa perbatasan bukan menjadi sumber konflik antara negara tetapi justru sebagai jembatan dan zona kerjasama ekonomi dan pembangunan yang saling menguntungkan.

Tidak salah kiranya jika saya menyebut bahwa dengan memberikan skala prioritas pembangunan perbatasan sejak pasca Đổi Mới Vietnam berhasil menyulap daerah Lao Bao yang semua merupakan ajang kontestasi menjadi zona kerja sama ekonomi negara-negara Asia Tenggara daratan.

Walaupun waktu presentasi dan diskusi yang diberikan sangat terbatas, namun masukan dan berbagi pengetahuan dan pengalaman dengan peserta dan panelis dari berbagai disiplin ilmu yang berbeda sangat berguna bagi saya sebagai foreigner atau non-Vietnamese yang tertarik dengan berbagai isu tentang Vietnam.                                                                                                           

*Lamijo, M.Phil Candidate di Department of Pacific and Asian History, School of Culture, History and Language, College of Asia and the Pacific, the Australian National University dan peneliti Bidang Asia Tenggara pada Pusat Penelitian Sumberdaya Regional, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).