Tentara Australia Temukan 6 Ton Bahan Peledak Bekas PD II di Papua Nugini
Tentara Australia telah membersihkan lebih dari enam ton granat tangan yang belum meledak dan sejumlah mortir atau meriam pendek, dari sebuah situs pertempuran Perang Dunia II di Pulau Bougainville, Papua Nugini.
Amunisi berjumlah besar ini ditemukan dalam minggu pertama dari Operasi ‘Render Safe’ 2014.
Misi internasional yang dipimpin Australia ini membersihkan amunisi yang berpotensi mematikan, dari sejumlah desa dan kebun di sekitar Torokina, pantai barat dari Pulau Bougainville.
Angkatan Darat Australia mengatakan, jumlah amunisi tua berkarat yang ditemukan ini bahkan mengejutkan para ahli pembuangan bahan peledak (EOD).
"Sebagian besar adalah mortar atau meriam pendek setinggi dua inci dan granat tangan dalam berbagai kondisi, yang tersisa di tempat setelah perang," kata salah seorang ahli EOD, David Austin.
Sebuah pangkalan udara Sekutu dibangun di Torokina pada tahun 1943 oleh Amerika Serikat, dan merupakan tempat peluncuran serangan darat Australia melawan Jepang pada tahun 1944-1945.
Lebih dari 500 warga Australia tewas dan 1.500 lainnya terluka dalam kampanye Bougainville.
Tujuh puluh tahun kemudian, tentara Australia kembali untuk membersihkan sisa-sisa perang yang mematikan itu.
Lebih dari 500 personel militer Australia terlibat dalam Operasi ‘Render Safe’ 2014 ini, dengan dukungan kapal induk HMAS Choules, sebuah helikopter MRH90, sejumlah kendaraan udara serta kendaraan amfibi.
Dengan infrastruktur yang terbatas di Torokina, para tentara mendaratkan kendaraan di pantai dan berjalan kaki ke dalam hutan untuk mencari bahan peledak tersebut.
Meskipun kampanye kewaspadaan telah dilakukan selama 5 bulan, sejumlah kritik terhadap pembersihan amunisi ini masih saja dilontarkan beberapa mantan pejuang yang terlibat dalam konflik terakhir di Bougainville.
Peranan Australia di Pulau Bougainville masih menjadi isu sensitif karena perang saudara pada era 1990-an, yang dipicu sengketa tambang Panguna, yang dioperasikan oleh anak perusahaan Rio Tinto, yakni ‘Bougainville Copper Limited’.
"Sejumlah mantan pejuang mengatakan bahwa operasi ini adalah pelanggaran terhadap Perjanjian Perdamaian Bougainville, tapi saya telah menjelaskan kepada mereka bahwa operasi ini… meningkatkan perdamaian yang orang-orang Torokina inginkan," ujar Patrick Nisira, Wakil Presiden Pemerintahan Otonom Bougainville.