Mengapa Presiden Jokowi Sering Umumkan Keputusan Penting di Rabu Pon?
Hari ini adalah hari Rabu. Tapi bagi masyarakat Jawa, hari ini bukanlah hari Rabu biasa, melainkan hari Rabu Pon.
Rabu Pon sudah tiga kali dipilih oleh Presiden Joko Widodo untuk mengumumkan perombakan atau 'reshuffle' kabinetnya.
Selain perombakan kabinet, Jokowi juga mencabut status pandemi COVID-19 Indonesia pada 21 Juni 2023, yang juga merupakan hari Rabu Pon.
Presiden Jokowi juga lahir pada hari Rabu Pon menurut penanggalan Jawa.
Lantas, mengapa hari Rabu Pon begitu spesial?
Neptu dalam kalender Jawa
Masyarakat Jawa mengenal kalender Masehi dan kalender Jawa.
Pada tahun 1633 Sultan Agung memadukan kalender Saka bergaya India dengan kalender Hijriah.
Siklus harian yang masih dipakai sampai hari ini adalah Saptawara yang sama dengan siklus tujuh hari (Senin-Minggu) di samping penanggalan Kalender Jawa yang terdiri dari pancawara atau siklus lima hari.
Pancawara terdiri dari Legi, Pahing, Pon, Wage, dan Kliwon.
Kedua kalender ini dianggap penting oleh masyarakat Jawa sehingga dibaca secara bersamaan untuk mengetahui nasib seseorang.
Setiap hari dalam kedua kalender memiliki neptu, yang merupakan nilai atau bobot berdasarkan Primbon Jawa.
Neptu seseorang ditentukan dengan menjumlahkan bobot hari menurut kalender Masehi dan bobot kalender Pasaran.
Misalnya, jika Anda lahir pada hari Rabu tanggal 26 Juli — yang minggu ini bertepatan dengan Pon dalam kalender Pasaran — neptu Anda adalah 7 + 7 = 14.
Ada sekitar delapan variasi neptu "baik" dan "buruk", menurut peneliti budaya Jawa dan dosen Universitas Negeri Semarang Dr Dhoni Zustiyantoro.
Dalam satu variasi, neptu yang "baik" atau "beruntung" adalah 5, 14, 23, dan 32. Sementrara itu, neptu yang dianggap "kurang beruntung" adalah 4, 13, 22, dan 31.
Dhoni mengatakan Rabu Pon secara khusus dianggap sebagai "hari yang baik".
"Sekalipun semua weton itu baik, tidak ada hari yang buruk, tetapi bagi masyarakat Jawa, hari lahir Rebu Pon itu lebih kurang diyakini memiliki beberapa keunggulan otak yang khas," katanya.
"
"Misalnya keuletan dalam bekerja, lebih bekerja keras, lebih giat dan kuat dalam bekerja, lebih bertanggung jawab dalam menjalankan tugas dan amanah."
"
Hitung-hitungan ini juga bisa dipakai untuk menentukan apakah pasangan cocok satu sama lain dengan menjumlahkan neptu masing-masing pasangan.
"Kalau ketemu angka yang jelek, ada yang memang sampai batal menikah. Kepercayaan itu masih ada sampai sekarang," kata Dhoni.
Dhoni menambahkan bahwa budaya Jawa memiliki tradisi panjang dalam membaca dan menafsirkan tanda dan kalender, atau "ngelmu titen."
"Masyarakat Jawa selama ratusan tahun mengamati perilaku dan watak manusia dalam kelahiran tertentu," kata Dhoni.
"Mereka mengaitkannya dengan peristiwa dan fenomena alam atau semesta."
Budaya Jawa dalam berpolitik
Ketika pengambilan keputusan Jokowi dilihat dari lensa budaya Jawa, termasuk mengumumkan beberapa perombakan kabinetnya pada hari Rabu Pon, Dhoni mengatakan Jokowi dapat mencoba untuk menularkan kualitas weton tersebut kepada bawahannya.
"
"Dalam konteks politik yang dipimpin oleh Jokowi, saya melihat [kualitas] itu ingin ditularkan kepada siapapun, dalam konteks ini bawahannya, para menteri, koalisi dan lain-lain yang ingin beliau ajak bekerja bersama-sama."
"
Image: Pakar budaya Jawa Dr Dhoni Zustiyantoro mengatakan Rabu Pon dianggap sebagai hari baik dalam penanggalan Jawa. Supplied
Kebudayaan Jawa juga memiliki pengaruh yang luas, termasuk terhadap bagaimana Jokowi berpolitik.
Tidak dapat dipungkiri, Jokowi sangat populer di kalangan pemilih di Jawa, yang mewakili sekitar 60 persen suara nasional.
Pada pemilu 2019, Jokowi meraih suara terbanyak di empat provinsi Jawa.
Menurut Dhoni, sang presiden "sangat dominan di Jawa."
"Saya kira beliau sangat menyadari itu, sangat menganggap bahwa kebudayaan Jawa ini menjadi bagian yang penting dari strategi politik," katanya.
Dr Sri Margana, peneliti sejarah Universitas Gadjah Mada, mengatakan budaya Jawa Jokowi sangat terlihat dari caranya menghadapi atau menghadapi "lawan-lawannya."
Menurutnya, orang Jawa cenderung "anti-konflik" dan dalam kasus Jokowi misalnya, ia memilih untuk mengangkat Jusuf Kalla dan Ma'ruf Amin menjadi Wakil Presiden, meski awalnya mereka tidak sependapat.
Contoh lain adalah ketika Jokowi dilantik menjadi presiden lagi pada periode kedua. Ia mengalahkan kandidatnya, Prabowo Subianto lalu menjadikannya Menteri Pertahanan Negara RI.
"
"Karakteristik orang Jawa itu adalah kelenturannya menerima berbagai serbuan dari budaya asing atau berbagai musuh," katanya.
"
"Dia lentur dan dia tidak suka konflik. Dia cenderung suka harmoni."
Tenaga Ahli Utama Kantor Staf presiden Joanes Joko mengatakan bahwa keputusan Jokowi bisa jadi merupakan strategi politik, tetapi menerangkan kemungkinan lain mengapa Rabu Pon dipilih untuk mengumumkan keputusan besar.
"Kenapa biasanya di tengah minggu? Karena kalau awal minggu biasanya penuh agenda. Senin, Selasa penuh. Nanti biasanya kalau yang mudah ditata itu kan biasanya di pertengahan minggu," kata Joanes.
Namun Joanes tidak menepis kenyataan bahwa latar belakang Jawa Jokowi dapat mempengaruhi pengambilan keputusannya.
"Bisa saja, karena kan setiap orang pasti punya religiusitas … tentu kita pun sebagai masyarakat umum juga ada hal-hal tertentu di mana hari-hari tertentu sebagai sarana introspeksi dan refleksi dan hari-hari tertentu digunakan untuk memulai satu momentum," katanya.
"Karena kalau kita kembalikan lagi memang Bapak Presiden kan kalau secara kelahiran wetonnya kan hari Rabu Pon. Mungkin beliau juga meyakini bahwa hari Rabu itu hari yang mudah untuk dijadikan satu tahap awal untuk melangkah terhadap sesuatu untuk dicapai."
Presiden Indonesia dengan warisan Jawa
Indonesia telah memiliki tujuh presiden sejak mendeklarasikan kemerdekaannya hampir 78 tahun yang lalu. Hampir semuanya adalah orang Jawa.
Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie merupakan satu-satunya yang tidak sepenuhnya keturunan Jawa dan berasal dari Sulawesi.
Dhoni mengatakan bahwa Suharto, yang memerintah selama 32 tahun, merupakan Presiden Indonesia "yang paling Jawa."
"Pak Suharto selain karena kentalnya dalam berbagai pidato kenegaraan maupun pidato tidak resmi di siaran-siaran pemerintahan atau ketika belau on-cam di televisi maupun di radio, misalnya, itu sudah sering menggunakan ungkapan-ungkapan khas Jawa," katanya.
"Beliau di hadapan publik sering membuat pernyataan khas Jawa dan itu meresap ke bawah, ke level-level kementerian, daerah, bahkan daerah-daerah non-Jawa pun kalau kita amati beberapa jurnal yang menulis itupun menggunakan cara-cara dan model-model kepemimpinan khas Jawa ala Suharto."
Gatot Nugroho, Kepala Museum Peringatan Jenderal Soeharto di Kemusuk, meyakini bahwa semua presiden Indonesia setelah Suharto, termasuk Jokowi, mengikuti jejaknya dalam memimpin bangsa.
Gatot, yang ayahnya dulu merupakan kopral di bawah komando Suharto dalam Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta, menyaksikan bagaimana kebudayaan Jawa melekat dalam diri Suharto.
Ia mengatakan, sejak mengabdi di militer hingga menjadi presiden, Suharto "menulis dengan tangan" filosofi budaya Jawa yang kemudian dituangkan dalam buku berjudul "Butir-butir Budaya Jawa" oleh putrinya, Tutut.
"[Buku] itu isinya filosofi budaya Jawa semua, yang dirangkum oleh Pak Harto, baik itu hasilnya dari secara lisan, dari para kiai, kemudian guru-guru agama, raja-raja ada yang di Jawa maupun seluruh Nusantara," kata Gatot.
Buku tersebut juga merinci bagaimana Suharto berpegang pada hitungan Jawa dalam menentukan waktu peresmian acara ataupun proyek,
Margana mengatakan, meski pemerintahan Suharto dituduh melakukan praktik buruk seperti nepotisme, hal tersebut dipandang sebagai "sesuatu yang biasa" dalam kebudayaan Jawa.
"Nepotisme itu, bagi yang berakar dalam kebudayaan Jawa, budaya feodal Jawa sebetulnya bukan sebuah kejahatan, tapi dalam ekonomi modern, demokrasi, good governance itu kan kejahatan ya," katanya.
"Dalam kebudayaan Jawa, nepotisme itu dianggap kekeluargaan, pertemanan, dan [sebagai wujud] solidaritas sosial."
Baca beritanya dalam bahasa Inggris