Jam Kerja Pelajar Internasional Dibatasi, Australia Akan Kekurangan Pekerja?
Erica Gusmao adalah seorang ibu tunggal yang berusaha keras menghidupi diri sendiri dan anaknya.
Di Brasil, negeri asalnya, ia adalah seorang desainer grafis, dan pindah ke Australia setahun lalu dan berharap bisa menjadikan hobinya memasak kue menjadi sebuah karier dengan ikut kursus memasak.
Erica sudah berusaha menikmati kehidupan di Australia dengan bekerja sebagai tukang cuci piring di sebuah kafe di Hobart, ibu kota negara bagian Tasmania, namun keadaan ini akan segera berubah.
Sebelum pandemi COVID, mahasiswa asing di Australia boleh bekerja sampai 40 jam dalam dua pekan.
Tahun lalu pembatasan tersebut dicabut untuk mengatasi masalah kekurangan tenaga kerja, sehingga mahasiswa internasional boleh kerja tanpa pembatasan jam kerja sama sekali.
Tapi mulai 1 Juli, pembatasan diberlakukan lagi menjadi maksimal 48 jam per dua minggu, kecuali mereka yang bekerja di bidang perawatan lanjut usia.
"
"Rasanya agak sedikit menakutkan ketika kami mendengar berita ini, semua orang di grup WhatsApp teman-teman dari Brasil membicarakan hal ini," kata Erica.
"
Ia mengatakan sudah berpikir untuk mencari tempat tinggal bersama adik perempuannya untuk mengurangi biaya sewa, karena khawatir biaya hidup di Australia juga akan meningkat.
"Anak laki-laki saya sekarang di taman kanak-kanak, jadi saya harus membayar biaya, selain untuk biaya kursus saya sendiri," katanya.
"Kami selalu berusaha menemukan cara dengan tidak membuat banyak rencana, karena semua terus berubah."
Pembatasan dilakukan 'terlalu cepat'
Pembatasan jam kerja bagi mahasiswa internasional dicabut awal tahun 2022, saat industri 'hospitality' di Australia mengalami banyak kekurangan tenaga kerja.
Suresh Manickam, Direktur Eksekutif Asosiasi Industri Restoran dan Catering saat itu, mengatakan pelonggaran jam kerja dilakukan untuk agar industri restoran tetap bertahan dan juga memberi pendapatan tambahan bagi para mahasiswa internasional.
"Ini juga berarti para mahasiswa bisa bekerja untuk menghidupi mereka sendiri sehingga jadi hal yang positif," katanya.
"Saya kira pendapat yang mengatakan mahasiswa harusnya hanya belajar terus menerus, bukanlah hal yang benar."
"
"Seorang mahasiswa juga harus bisa mencukupi hidupnya, untuk punya tempat tinggal, bisa makan dengan layak dan salah satu cara, atau bahkan satu-satunya cara adalah dengan bekerja."
"
Suresh mengatakan pembatasan jam kerja yang sekarang diberlakukan lagi terlalu cepat saat masalah kekurangan tenaga kerja masih terjadi.
"Kami tidak mengatakan tidak perlu ada pembatasan. Tapi kami mengatakan pembatasan menjadi 24 jam per minggu, dari yang sebelumnya tidak ada pembatasan sama sekali, adalah terlalu drastis."
Dia juga khawatir munculnya "pasar tenaga kerja gelap".
Namun menurut perkumpulan mahasiswa internasional di Australia tidak adanya pembatasan jam kerja juga menciptakan konsekuensi tersendiri.
"Yang terjadi adalah banyak mahasiswa yang kerja terlalu banyak," kata Presiden Dewan Mahasiswa Internasional Yeganeh Soltanpour.
"Kita melihat banyaknya mahasiswa yang terlalu lelah, kami melihat bisnis mengambil kesempatan ini untuk mempekerjakan mahasiswa seolah-olah mereka tidak mengerti."
"
"Mahasiswa disuruh bekerja terus menerus lima hari seminggu, kadang ditaruh kerja malam hari sampai pagi, sehingga mereka kelelahan dan tidak bisa fokus mengerjakan tugas."
"
Yeganeh mengatakan kerja tiga hari seminggu bagi kebanyakan mahasiswa sudah cukup untuk mencapai keseimbangan antara kerja dan tugas mata kuliah.
Tapi ia mengaku kalau mahasiswa yang juga harus menanggung biaya hidup keluarganya di Australia sekarang ini akan mengalami kesulitan karena semakin mahalnya biaya hidup di Australia.
"Banyak mahasiswa internasional datang ke sini dengan meminjam uang, mereka sudah bekerja keras untuk bisa datang ke sini dan untuk bisa bertahan di sini," katanya.
Pertanian harus mengurangi produksi
Dampak dari pembatasan jam kerja bagi pelajar internasional juga dirasakan di sektor pertanian.
Selama musim panen, 90 persen pekerja yang memetik buah strawberry di kebun Jack Beattie berasal dari kalangan mahasiswa internasional.
"
"Semakin susah untuk menemukan orang untuk bekerja, dan ketika mengurangi jumlah pekerja di sektor ini menjadi setengah, maka akan menimbulkan kesulitan bagi kami," katanya.
"
"Kemungkinan kami harus mengurangi produksi juga menjadi setengah per tahun, karena pada dasarnya kami hanya memiliki pekerja 50 persen dari sebelumnya."
Bahkan denqan para 'backpacker' dan peserta program 'Working Holiday Visa' (WHV) perlahan kembali ke Australia, Fiona Simson, presiden Federasi Petani Nasional Australia mengatakan kurangnya tenaga kerja "merupakan masalah paling besar yang dihadapi petani saat ini".
"Kami mendesak pemerintah untuk melihat semua kebijakan yang sudah diterapkan terkait dengan COVID akan menguntungkan bagi semua pihak, bagi pekerja, petani dan produksi pertanian kita secara keseluruhan," katanya.
Ia juga mengatakan masalah kurangnya pekerja terampil, panjangnya masa pengurusan visa dan kurangnya akomodasi untuk para pekerja adalah masalah utama yang dihadapi industri pertanian di Australia.
Menteri Dalam Negeri Australia, Clare O'Neil, mengatakan pemerintah melihat adanya keseimbangan dalam masalah pembatasan jam kerja bagi mahasiswa internasional.
"Mereka berada di sini sebagai mahasiswa dan juga sebagai pekerja," katanya kepada ABC.
"Mereka datang ke sini menggunakan visa pelajar, artinya mereka mendapatkan pendidikan berkualitas di negara kita, tapi mereka tidak bisa melakukannya kalau bekerja penuh waktu. Itulah mengapa aturan itu ada sebelumnya."
Clare mengatakan pelonggaran sebelumnya dilakukan terkait pandemi COVID, karena begitu kurangnya tenaga kerja saat itu.
"
"Saya kira tidak banyak warga Australia akan senang dengan pendapat kalau mereka datang sebagai mahasiswa internasional, kemudian menggunakan jalur ini untuk menjadi pekerja penuh waktu," katanya.
"
"Ini bukan hal yang benar dalam penggunaan visa pelajar."
Artikel ini diproduksi oleh Sastra Wijaya dari ABC News