‘Seperti Medan Perang’: 18 Pengunjuk Rasa di Myanmar Tewas Tertembak Polisi
Polisi Myanmar melepaskan tembakan langsung ke arah para pengunjuk rasa menewaskan belasan orang dalam unjuk rasa paling mematikan di Myanmar sejauh ini, setelah kudeta yang dilakukan militer awal Februari lalu.
Hari Senin (1/03) pemimpin negara Myanmar yang digulingkan, Aung San Suu Kyi, akan diajukan ke pengaidlan.
Menurut kantor HAM PBB, sedikitnya 18 orang tewas dan belasan luka-luka dalam unjuk rasa hari Minggu tersebut.
“Sepanjang hari di beberapa lokasi di seluruh negeri, polisi dan militer menghadapi unjuk rasa yang dilakukan damai, menggunakan senjata mematikan dan senjata lain, yang menurut laporan terpercaya dari kantor HAM PBB, menyebabkan 18 orang tewas dan 30 orang lain luka-luka,” kata kantor tersebut.
Myanmar sudah berada dalam kekacauan sejak militer mengambil alih kekuasaan dan menahan Aung San Suu Kyi dan sebagian besar pemimpin partai Liga Nasional Bagi Demokrasi (NLD), sejak 1 Februari.
Militer menuduh adanya kecurangan dalam pemillu bulan November yang dimenangkan NLD dengan suara mayoritas.
Suu Kyi diperkirakan akan muncul di pengadilan lewat video dengan tuduhan melakukan impor ilegal enam peralatan radio ‘walkie-talkie’.
Pengacaranya mengatakan polisi sudah mengajukan tuduhan kedua yaitu pelanggaran terhadap UU Manajemen Bencana Alam.
Australia mengecam kekerasan
Kedutaan Australia di Myanmar mengatakan “sangat prihatin dengan jatuhnya korban di Myanmar dan menyampaikan bela sungkawa kepada keluarga para korban”.
“Kami mendesak pasukan keamanan Myanmar untuk menghentikan penggunaan senjata mematikan terhadap warga sipil,” kata pernyataan Kedubes Australia di Facebook.
Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, Antony Blinken mengecam apa yang disebut sebagai “kekerasan yang sangat berlebihan” yang digunakan oleh militer Myanmar dalam menghadapi unjuk rasa.
“Kami mendukung keberanian rakyat Burma dan meminta seluruh negara menggunakan suara yang sama untuk mendukung keinginan mereka,” kata Blinken.
Indonesia sebagai bagian dari ASEAN mengambil inisiatif untuk menyelesaikan keadaan di Myanmar, dengan menyatakan keprihatinan mendalam atas terjadinya kekerasan dan menyerukan semua pihak menahan diri.
‘Seperti medan perang”
Setelah adanya kudeta, hampir setiap hari terjadi unjuk rasa di jalanan di penjuru kota-kota di Myanmar yang dihadiri ratusan ribu warga.
“Myanmar seperti medan perang,” kata Kardinal Katolik Myanmar, Charles Maung Bo di Twitter.
Minggu pagi kemarin, polisi yang didukung kekuatan miiliter turun ke jalanan melepaskan tembakan ke berbagai kawasan di kota Yangon menggunakan granat, tembakan ke udara dan gas air mata, meski gagal membubarkan massa.
Polisi juga melemparkan granat di sebuah sekolah kedokteran di Yangon dan membuat para dokter dan mahasiswa berhamburan menyelamatkan diri.
Sebuah kelompok bernama ‘Whitecoat Alliance’ mengatakan sekitar 50 staf medis sudah ditahan.
Lembaga independen bernama Asosiasi Bantuan Untuk Tahanan Politik mengatakan mereka mengetahui adanya sekitar seribu orang ditahan hari Minggu, dengan 270 diantaranya sudah diketahui identitasnya.
Hingga kini total sekitar 1.131 orang sudah ditahan, dikenai tuduhan atau dijatuhi hukuman sejak kudeta militer terjadi.
Diketahui 21 pengunjuk rasa tewas dan pihak militer mengatakan seorang polisi terbunuh.
Jaringan televisi negara MRTV mengatakan lebih dari 470 orang ditangkap hari Sabtu, setelah polisi melakukan penangkapan secara nasional.
Kelompok hak asasi manusia, ‘Human Rights Watch’ mengkritik kekerasan yang terjadi sebagai hal yang ‘tidak bisa diterima’.
“Pasukan keamanan Myammar yang meningkatkan kebijakan dengan penggunaan senjata mematikan di berbagai kota adalah hal yang tidak bisa diterima,” kata Phil Robertson, Wakil Direktur ‘Human Rights Watch’ untuk kawasan Asia.
Seorang aktivis perempuan, Esther Ze Naw mengatakan warga Myanmar harus berjuang untuk mengatasi ketakutan mereka akan militer yang sudah tertanam sekian lama dalam diri mereka.
“Ketakutan itu hanya akan terus bertumbuh bila kami hidup di bawah kekuasaan militer dan mereka yang menciptakan ketakutan sadar akan hal tersebut,” katanya.
“Jelas sekali mereka ingin menciptakan ketakutan dengan membuat kami lari dan bersembunyi. Kami tidak bisa menerima hal tersebut.”
Duta besar yang dipecat tetap akan berjuang
Tindakan polisi terjadi setelah televisi nasional Myanmar mengumumkan Duta Besar Myanmar untuk PBB dipecat karena mengkhianati negeri itu.
Duta besar tersebut sebelumnya mendesak PBB untuk melakukan langkah “apa saja yang diperlukan” untuk mengembalikan keadaan sebelum kudeta.
Duta besar yang dipecat ini adalah Kyaw Moe Tun mengatakan tetap akan berjuang.
“Saya memutuskan untuk berjuang selama yang bisa saya lakukan,” katanya di New York.
Negara-negara Barat sudah mengecam kudeta dan mulai menerapkan sanksi, namun para jenderal militer sejauh ini tidak mengindahkan tekanan diplomatik tersebut.
Mereka sudah menjanjikan adanya pemilu baru namun belum menentukan tanggal.
NLD dan para pendukungnya mengatakan hasil pemilu bulan November lalu harus dihormati.
Artikel ini diproduksi oleh Sastra Wijaya dan lihat beritanya dalam bahasa Inggris di sini
ABC/Wires