Penyakit Pernafasan Pada Ayam Mungkin Bisa Jadi Kunci Pengendalian COVID-19
Ada banyak hal yang bisa dipelajari dari industri unggas, salah satunya tentang masa depan dari pengendalian penularan virus corona, menurut seorang akademisi dari University of Melbourne, Profesor Amir Hadjinoormohammadi.
Profesor Amir, yang bekerja di bidang pengobatan unggas di Pusat Asia Pasifik bidang Kesehatan Hewan, mengatakan virus penyakit pernafasan menular, atau ‘infectious bronchitis virus’ (IBV), yang ditemukan pada ayam, memiliki banyak kemiripan dengan COVID-19.
“Pembelajaran yang diperoleh dari menangani penyakit hewan dapat diterapkan pada bagaimana mengendalikan dan mendiagnosis penyakit pada manusia,” katanya.
Gejala utama penyakit bronkitis pada ayam
Walaupun istilah virus corona belum diciptakan pada saat itu, Profesor Hadjinoormohammadi mengatakan penyakit saluran pernafasan menular pertama kali dideteksi pada ayam.
“Penyakit ini pertama kali dilaporkan pada tahun 1931 di Amerika, tapi ada kecurigaan bahwa penyakit itu sebenarnya muncul satu dekade lebih awal dari itu,” katanya.
“Gejala utama dari penularan virus ini adalah penyakit pernapasan,” katanya.
Menurut Profesor Hadjinoormohammadi, gejala tersebut muncul dalam hidung berair, konjungtivitis atau mata berair, batuk, bersin, dan sering menimbulkan kematian pada ayam.
Profesor Hadjinoormohammadi mengatakan IBV tidak hanya menunjukkan gejala yang hampir identik dengan COVID-19, tetapi juga susunan fisik yang serupa.
IBV atau virus bronkitis menular terdapat pada kebanyakan negara dan dengan cepat menyebar di tengah ayam, hingga dapat menjangkiti burung dalam waktu 24 jam.
Namun, berbeda dengan yang kini diketahui tentang COVID-19, IBV dapat menyebar melalui partikel virus dan kontak dengan feses.
Banyak kesamaan di antara kedua virus
Terdapat beberapa strain IBV dalam populasi ayam dunia, dan menurut Profesor Hadjinoormohammadi, hal ini bisa jadi penting dalam masa depan pengendalian penularan COVID-19, pada manusia.
“Saya pikir jika kita ingin meramalkan kemungkinan tentang apa yang telah dipelajari industri unggas dari IBV, kita mungkin akan menghadapi situasi yang sama dengan SARS-COV-2,” katanya.
“Kedua penyakit ini memiliki banyak kesamaan dalam hal kerentanan terhadap benda desinfeksi fisik [seperti ‘sanitiser’] yang tersedia untuk kita.”
Profesor Hadji Noormohammadi mengatakan sejauh ini telah ada beberapa usaha untuk membasmi IBV.
“Virus ini penting dalam skala global, ditemukan di hampir semua negara yang memiliki ayam, sehingga sudah ada banyak upaya selama sembilan puluh tahun terakhir untuk menghasilkan vaksin yang efektif.”
Vaksinasi massal pada ayam
Profesor Hadjinoormohammadi berkata bahwa industri unggas telah menemukan berbagai cara untuk memvaksinasi ayam.
“Sangat sulit untuk memvaksinasi ayam satu per satu, tapi ini masih dilakukan di beberapa sektor industri,” ujarnya.
Akibat kesulitan tersebut, anak ayam sering divaksinasi secara massal di tempat penetasan, menurut Profesor Hadjinoormohammadi.
“Biasanya ada vaksinasi semprot atau vaksinasi air minum, sering sebelum unggas dipindahkan ke tempat produksi,” ujarnya.
“Virus corona pada umumnya rentan sekali terhadap perubahan dalam susunan genetiknya, kadang-kadang juga menyebabkan virus menjadi berbeda dalam hal biologi dan cara vaksin dapat memberikan perlindungan.”
Profesor Hadjinoormohammadi mengatakan bahwa sifat mutasi IBV sering bermutasi berarti bahwa vaksin baru dibutuhkan untuk melindungi ayam.
Menurutnya, kemungkinan besar evolusi terus-terusan dari vaksin IBV juga akan tercermin dalam perjuangan melawan COVID-19 pada manusia.
Profesor Hadjinoormohammadi mengatakan virus baru telah muncul dari tahun ke tahun sejak penyakit itu dilaporkan masuk ke Australia pada tahun 1960-an.
“Di Australia ada setidaknya dua jenis vaksin yang digunakan. Salah satunya mungkin lebih populer,” katanya.
Diterjemahkan oleh Mariah Papadopoulos dari artikel dalam bahasa Inggris yang bisa dibaca di sini.
Ikuti berita seputar pandemi Australia dan lainnya di ABC Indonesia.