Eko Ariyanto Sudah Donor Darah 100 Kali di Australia, Rutin Dua Minggu Sekali
Artikel ini diproduksi oleh ABC Indonesia
Apa salah satu kebiasaan yang anda lakukan? Eko Ariyanto, seorang warga asal Yogyakarta yang sekarang tinggal di Melbourne, memiliki kebiasaan yang ia bawa dari Indonesia.
Eko rutin menyumbangkan darahnya dan minggu lalu adalah donor darah yang ke-100 kalinya di Australia.
Dalam percakapan dengan wartawan ABC Indonesia Sastra Wijaya, Eko mengatakan semasa menjadi mahasiswa di Universitas Tarumanegara, Jakarta, di tahun 1990-an, dia sudah mulai menyumbang darah.
“Secara rutin di kampus Untar, di mana saya kuliah dulu, selalu melihat ada kegiatan donor darah dari PMI,” kata pria yang bekerja sebagai internal auditor di sebuah perusahaan pertambangan di Australia tersebut.
“Waktu saya ke Melbourne untuk studi S2 saya tergerak lagi untuk donor darah disini,” kata Eko ayah dari dua anak tersebut.
Ada dua jenis sumbangan darah yang bisa dilakukan di Australia, yaitu sel darah dan plasma darah.
Menyumbang darah di Australia pun tidak bisa dilakukan setiap saat.
Untuk sel darah keseluruhan, sumbangan hanya bisa diberikan setiap 12 minggu sekali. Sehingga untuk mencapai 100 kali seperti Eko, artinya diperlukan waktu sekitar 25-30 tahun untuk melakukannya.
Syarat lainnya adalah mereka yang sering melakukan perjalanan ke luar Australia, termasuk ke negara berisiko tinggi malaria seperti di sejumlah kawasan di Asia Tenggara, harus menunggu tiga bulan sebelum menyumbang darah.
“Pada suatu waktu saya harus puasa berdonor darah karena untuk urusan kerjaan saya harus rutin bolak balik ke Filipina,” kata Eko.
Lantas bagaimana Eko bisa menyumbangkan darahnya setiap dua minggu sekali?
Sejak dia mengetahui tidak adanya pantangan untuk donor plasma, Eko kemudian rutin menjadi donor plasma.
“Kebetulan juga kantor saya di Melbourne CBD sangat dekat hanya bersampingan dengan tempat untuk donor darah,” tambahnya.
Tergerak dari apa yang dialami adiknya
Eko tergerak menyumbang darah pada awalnya karena adik perempuannya Natalia Dewiyani pernah, yang sudah dua kali terkena kanker.
“Salah satu adik saya waktu dia masih kecil dulu pernah operasi di rumah sakit dan membutuhkan darah untuk operasinya,” katanya.
“Sampai orangtua saya juga minta tolong sana sini untuk bisa mencari donor darah untuk operasi adik saya.” kata Eko.
“Adik saya yang sama juga beberapa tahun lalu terkena kanker,” ujar Eko.
Kini kondisinya adiknya sudah bebas dari kanker setelah menjalani perawatan.
“Dalam perawatan kankernya juga membutuhkan pertolongan donor darah untuk bisa membantu pengobatan kankernya.”
Natalia yang juga tinggal di Melbourne juga merasakan pentingnya sumbangan darah ke rumah sakit.
Di bulan Mei 2015, Natalia dinyatakan terkena kanker Ewing Sarcoma, jenis kanker yang menyerang tulang dan jaringan lunak.
Setahun kemudian ia terkena kanker kulit, atau melanoma.
“Puji Tuhan, kankernya sudah bersih sekarang.” katanya.
Natalia masih harus melakukan pemeriksaan teratur setiap enam bulan untuk mengecek apakah kankernya tidak kembali lagi.
Sebelum menderita kanker, Natalia juga adalah penyumbang darah teratur, namun sekarang tidak bisa melakukannya selama lima tahun sejak kanker bersih dari tubuhnya.
‘Tidak suka dengan jarum suntik’
Menurut Eko, yang pindah ke Australia di tahun 2000, kegiatan menyumbang darah sudah menjadi rutinitasnya, walau sebenarnya tidak suka dengan jarum suntik.
“Tetapi tidak apalah sakit sedikit pas saat jarum donor masuk ke tubuh kita … untuk kesehatan yang lebih baik bagi penerima donor darah,” katanya.
Eko sering kali melihat pesan-pesan yang beredar di media sosial membutuhkan darah bagi mereka yang dalam keadaan kritis.
Ia mengaku kalau belum pernah langsung menolong yang butuh darah, namun bantuan yang diberikannya adalah untuk membantu sebelum darah dibutuhkan.
Sebagai pendonor darah rutin di Australia, Eko sudah memahami soal darah, termasuk perbedaan plasma dan sel darah.
“Perbedaannya yang sederhana kalau donor plasma hanya diambil plasmanya saja kemudian komponen lainnya seperti sel darah merah dikembalikan lagi ke tubuh kita,” kata Eko.
Dalam prosesnya donor plasma membutuhkan waktu lebih lama dibandingkan dengan donor darah biasa, tambahnya.
“Karena membutuhkan beberapa siklus untuk pemisahan plasma dan pengembalian sel darah merah kembali ke tubuh kita.”
“Kalau untuk donor darah yang biasa kurang lebih prosesnya 10 menit tapi untuk plasma minimal 60 menit,” jelasnya.
Ingin menularkan kebaikan
Eko mengatakan apa yang dilakukannya dengan menyumbang darah bukan karena alasan kesehatan ataupun sosial.
Ia menggunakan istilah ‘pay it forward’ bagi orang lain yang membutuhkan.
“Pay it forward menurut definisi sempit saya itu berbagi kebaikan dengan orang lain.”
“Harapannya semakin banyak orang berbuat kebaikan, dunia ini akan menjadi semakin indah,” kata Eko yang memiliki latar belakang pendidikan akuntansi tersebut.
Memberikan sumbangan darah sebanyak 100 kali di Australia merupakan salah satu titik capaian yang berarti, namun Eko mengatakan dia tidak akan berhenti melakukannya.
“Saya tidak ada target. Selama badan dan jadwal saya bisa untuk donor darah pasti akan saya lakukan,” kata pria berusia 40 tahunan tersebut.
Eko menganjurkan orang lain untuk tergerak juga menyumbangkan darah secara konsisten, jika memungkinkan.
“Banyak kisah dari penerima donor yang menyentuh hati saya. Bagaimana darah yang kita donorkan bisa menentukan hidup atau mati bagi orang yang sakit parah.”
“Paling tidak, apa yang kita berikan bisa memberikan senyum bagi orang lain yang membutuhkan,” ujarnya.
Ikuti cerita-cerita dari komunitas Indonesia di Australia hanya di ABC Indonesia