Laporan Khusus: Mempercepat Upaya Pemberantasan HIV
Lebih dari 35 juta orang hidup dengan HIV, virus yang menyebabkan AIDS. Di tengah penyelenggaraan konferensi AIDS 2014 internasional di Melbourne, kini saatnya kita bertanya dan mengkaji ulang: seberapa jauh kita telah berupaya memerangi AIDS?.
Hasilnya sejauh ini tak hanya kerjasama global dan kemajuan ilmu, namun juga perubahan sosial, dan upaya berkelanjutan untuk mengakhiri diskriminasi dan menyediakan akses kesehatan yang setara.
Sekitar 30 juta orang telah meninggal dunia, hingga hari ini, akibat penyakit yang berhubungan dengan AIDS. Namun dalam dekade terakhir, jumlah kematian akibat AIDS dan jumlah orang yang terinfeksi telah menurun. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengatakan, “Akhir dari AIDS” di kawasan Asia-Pasifik dapat dicapai dalam 15 tahun mendatang, tapi tentu saja butuh kerja keras untuk mencapainya.
Meskipun belum ada penyembuh, obat bernama ‘antiretroviral’ telah menolong penderita untuk mengatasi virus, membuat mereka yang terinfeksi hidup lebih sehat dan lebih lama. Namun mengakali virus ini tetap menjadi tugas berat.
Dengan proses tersebut, HIV menjadi tak tampak dalam sistem ketahanan tubuh.
Ketika seseorang menjadi rentan terhadap infeksi, kita dapat menyebut bahwa penyakit ini telah berkembang menjadi AIDS – Acquired Immune Deficiency Syndrome.
Obat ‘antiretroviral’ (ARV) kini adalah pertahanan terbaik untuk melawan virus ini. Ada lima kelas ARV, dan karena mereka melawan virus tersebut dalam tahapan siklus hidup yang berbeda, hasil terbaik didapat ketika orang yang terinfeksi mengkonsumsi kombinasi obatnya untuk melawan virus tersebut dalam banyak jenis.
Di Tiongkok, tingkat kematian akibat virus ini telah menurun sekitar 80% karena adanya akses terhadap obat tersebut.
Obat ‘antiretroviral’ juga membantu mencegah transmisi penyakit ini, dan memicu penurunan infeksi baru, yang tercatat secara global antara tahun 2010 dan 2011, sekitar 20%.
Tentu saja, tak semua orang memiliki akses ke pengobatan yang mereka butuhkan. Badan Kesehatan Dunia PBB (WHO) mengatakan, masih ada 19 juta orang yang seharusnya mendapat perawatan tersebut namun tak bisa mendapatkannya.
Pendidikan kesehatan seksual di sekolah-sekolah dan juga akses mendapatkan kondom, tes HIV, serta obat-obatan, semuanya berkontribusi dalam memperlambat tingkat infeksi serta dampak sosial dan ekonomi yang menyertai.
Karena HIV seringkali berdampak pada kelompok marjinal, seperti laki-laki yang berhubungan seksual dengan sesama laki-laki dan pencandu obat-obatan terlarang, memerangi prasangka masyarakat telah menjadi upaya terdepan untuk menghentikan HIV.
Kini, di Papua Nugini, hampir 20% pekerja seks dilaporkan hidup dengan HIV. Di Filipina, ditemukan epidemi ini di antara para pecandu obat-obatan. Di Vietnam, lebih dari 15% pria yang berhubungan badan dengan sesame pria dilaporkan terinfeksi HIV.
Mengatasi diskriminasi terhadap populasi yang rentan tetap menjadi fokus utama dari kampanye pemberantasan penyakit ini di Asia-Pasifik.
Progress has been hampered by the nature of the virus; it changes rapidly and it has many subtypes. In 2009 an experimental vaccine had promising results, showing a modest reduction in risk of HIV infection.
Kemajuan yang terjadi terhambat oleh karakter virus; yakni berubah dengan cepat dan memiliki berbagai sub-jenis. Di tahun 2009, sebuah vaksin hasil eksperimen sempat memiliki hasil yang menjanjikan, menunjukkan pengurangan resiko infeksi HIV.
Research continues on a number of fronts, but despite the investment of more than US$800 million a year, a safe and effective vaccine for HIV remains elusive.
Penelitian berlanjut dalam beberapa jenis, namun di samping investasi besar-besaran senilai 800 juta dolar per tahun, vaksin HIV yang aman dan efektif masih tetap sukar ditemukan.
Pendekatan lain yang dilakukan adalah mencari penyembuh – sebuah perawatan yang akan menghapus virus di tubuh orang yang terinfeksi, atau menguranginya ke tingkat di mana pengobatan seumur hidup tak lagi penting.
Profesor Sharon Lewis, Panitia Konferensi AIDS Internasional ke-20 di Melbourne, menyadari kemajuan perawatan peyakit ini sekaligus jalan panjang yang dihadapi.
“Tugas untuk menemukan penyembuh HIV terlalu berat untuk satu laboratorium atau satu negara. Jelas sekali jika kita sukses menemukan obat penyembuh ini, kita juga harus memastikan bahwa penyembuh ini terjangkau dan tersedia bagi siapa saja yang membutuhkan,” ujarnya.
Utusan khusus Sekretaris Jenderal PBB untuk AIDS, Prasada Rao, sebelumnya telah mengatakan kepada Radio Australia bahwa dalam 15 tahun mendatang, penyakit ini memasuki tahap yang dapat ditiadakan. Jumlah infeksi HIV baru telah turun sepertiga dalam dua tahun terakhir, dan di Kamboja, 94% orang yang hidup dengan HIV kini memiliki akses ke pengobatan ARV yang mereka butuhkan.
Namun tingkat infeksi memang meningkat di beberapa wilayah Asia, seperti di Indonesia, Sri Lanka, Bangladesh, dan mengontrol epidemi ini di populasi yang rentan akan menjadi kunci untuk membalikkan tren ini.
Deklarasi AIDS 2014 menyebut adanya “Pemberantasan diskriminasi terhadap orang yang hidup dengan atau beresiko terkena HIV, memastikan akses pencegahan, pengobatan dan perawatan HIV yang setara bagi seluruh orang.
Profesor Sharon menegaskan, “ Jika kita benar-benar ingin mengubah fenomena HIV, kita harus memastikan bahwa tak ada satu orang pun yang tertinggal.”