Inilah Kehidupan di Salah Satu Negara dengan ‘Lockdown’ Paling Ketat di Dunia
Filipina menjadi salah satu negara yang menerapkan aturan paling ketat berkenaan dengan virus corona. Saat ini jumlah kasus positif virus corona di Filipina telah mencapai 8.000 kasus positif dengan lebih dari 500 kematian.
Angka ini memang jauh lebih kecil dibandingkan di negara lain seperti Amerika Serikat, Inggris, Spanyol atau Italia, namun Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sudah menyampaikan keprihatinan terkait tindakan brutal polisi dalam mengamankan lockdown di Filipina.
Lebih dari 30 ribu orang telah ditahan karena melanggar jam malam dan karantina, yang masih akan berlangsung paling tidak selama dua minggu lagi.
Masalahnya, menurut sebuah kelompok HAM, beberapa petugas melakukan tindakan terlalu berlebihan ketika menerapkan aturan yang ada.
Organisasi Human Rights Watch mengecam hukuman yang diberikan kepada mereka yang melanggar aturan ‘lockdown’.
Sejauh ini Human Rights Watch (HRW) sudah menemukan lima kasus di mana orang dimasukkan ke dalam kandang anjing.
Menurut media setempat, polisi yang melakukan hal tersebut sudah meminta maaf di Facebook, dan menghadapi sanksi disiplin dari kantor polisi tempat dia bertugas.
Selain kasus tersebut, ada juga beberapa contoh lainnya.
“Ada kejadian tiga warga dari komunitas LGBT ditahan karena melanggar jam keluar,” kata Conde.
“Selain sudah didenda, mereka dipaksa berjoget dan diminta berciuman di depan publik, dan kejadian tersebut direkam dan dimuat di Facebook oleh pejabat setempat.”
‘Lockdown’ di Filipina sudah berlangsung lebih dari sebulan di pulau terbesarnya, yakni Luzon, sejak tanggal 16 Maret.
Menurut perwakilan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) di Filipina Dr Socorro Escalante, mereka melihat banyak hal yang positif dalam penerapan lockdown tersebut, terutama di tingkat lokal.
Namun dia mengatakan sulit untuk melihat seberapa efektif karantina yang sudah dijalankan sejauh ini.
“Ini semua adalah mengenai bagaimana negeri ini bisa memastikan penularan tidak terus terjadi, dan juga bagaimana sistem layanan kesehatan bisa menangani penyebaran wabah.” katanya.
Presiden Rodrigo Duterte membela kebijakan yang sudah dijalankan pemerintah sejauh ini.
“Tanpa pembatasan, ini tidak akan berakhir.” katanya.
Filipina menghadapi masalah yang sama seperti Indonesia dan India.
Jumlah penduduknya besar dan tinggal di permukiman yang padat penduduk, di mana banyak keluarga tinggal di rumah-rumah yang kecil.
Lockdown membuat yang miskin semakin menderita
Bagi Ligaya Sambayon, yang tinggal di kawasan kumuh di Manila, Sitio San Roque, ‘lockdown’ ketat membuatnya tidak bisa mengunjungi rumah sakit untuk mendapatkan obat bagi keluarganya.
Ligaya adalah pengasuh bagi putrinya yang berusia 19 tahun yang harus menggunakan kursi roda yang menderita ‘cerebral palsy’.
Ligaya harus menggunakan transportasi umum namun sekarang bus tidak lagi beroperasi di Manila.
Keluarga Ligaya tidak bisa menggunakan sarana lain, karena Ligaya tidak punya pekerjaan, memiliki berutang banyak karena obat untuk putrinya yang mahal.
Selain itu, Ligaya juga khawatir dia dan keluarganya akan terkena virus yang kemudian bisa menularkan ke anggota keluarga yang lain.
“Ketika virus ini mulai menyebar, tentu saja saya kawatir, karena dikatakan mereka yang rentan akan mudah tertular. Suami saya terkena stroke dan putri saya difabel,” kata Ligaya kepada ABC.
Keadaan yang dialami Ligaya membuat kelompok HAM memperingatkan bahwa lockdown dan penahanan paling berpengaruh pada warga miskin.
Awal April lalu, 21 orang ditahan di permukiman kumuh di San Roque saat sejumlah orang mendengar adanya kabar pembagian makanan gratis.
Namun kabar tersebut tidak benar, beberapa di antara mereka yang datang untuk mencari makanan gratis malah ditahan, karena berkumpul tanpa izin dari polisi.
Seorang pekerja bangunan yang juga duda dengan tiga anak, Jesus Magsayo, mengatakan lockdown di tempatnya sudah membuat kehidupan semakin sulit.
Dia termasuk salah seorang yang ditahan walau kemudian dibebaskan.
“Yang paling berat bagi kami adalah menjadi pengangguran, kami betul-betul butuh pekerjaan.” katanya.
‘Gunung sosial yang bisa meletus’
Lian Buan, wartawan bidang hukum di situs berita Filipina Rappler mengatakan menahan warga di fasilitas yang penuh sesak di tengah pandemi corona sangat mengkhwatirkan.
“Tempat tahanan tingkat kepadatannya 300 persen di atas normal, jadi kalau ada orang baru yang masuk ke dalam sistem penjara, mereka berisiko menyebarkan virus ke tahanan yang ada,” katanya kepada ABC.
“Ini adalah krisis kesehatan dan saya kira solusinya harus lebih pada pendekatan kesehatan, bukan solusi pendekatan keamanan.”
“Pelanggaran HAM sebelum pandemi sudah memprihatinkan, dan sekarang lebih mengkhawatirkan lagi karena adanya pembatasan pergerakan dan terbatasnya perangkat hukum yang tersedia untuk menanganinya.”
Menurut kelompok HAM, penerapan ‘lockdown’ dalam jangka waktu lama saat warga tidak punya penghasilan dan makanan, menyebabkan terjadinya gejolak sosial.
“Saya khawatir pandemi COVID-19 ini berkelanjutan dan akan menambah keparahan situasi di mana gunung masalah sosial yang ada bisa meledak kapan saja,” kata Carlos Conde dari Human Rights Watch.
Dia mengatakan komunitas yang hidup berdesakan dan kelompok miskin akan semakin kesulitan dan Conde sudah melihat tanda-tanda ‘keresahan’ di beberapa bagian di Manila dan di tempat lainnya.
Lihat atikelnya dalam bahasa Inggris di sini