Roger Penrose: Nobel Fisika untuk teori yang memecahkan misteri di pusat lubang hitam
Roger Penrose dianugerahi Nobel Fisika 2020 karena teorinya yang menjelaskan bahwa “lubang hitam” bukanlah hal yang mustahil, tapi sebuah keniscayaan. Bagaimana teori ini mengubah cara pandang kita melihat Alam Semesta?
Pada suatu hari yang cerah di bulan September tahun 1964, Roger Penrose dikunjungi oleh seorang teman lama. Kosmolog Inggris Ivor Robinson kembali ke Inggris dari Dallas, Texas, tempat ia tinggal dan bekerja. Setiap kali keduanya bertemu, mereka tidak pernah kekurangan bahan obrolan, dan pembicaraan mereka pada kesempatan ini begitu beragam dan tidak habis-habis.
Saat kedua sahabat itu berjalan-jalan di dekat kantor Penrose di Birkbeck College, London, mereka berhenti sebentar di tepi jalan, menunggu lalu lintas berhenti. Perhentian sesaat dalam perjalanan ini bertepatan dengan jeda percakapan mereka dan keduanya pun saling terdiam saat menyeberang jalan.
Pada saat itu, pikiran Penrose melayang. Pikirannya menempuh jarak 2,5 miliar tahun cahaya melalui ruang hampa luar angkasa menuju massa quasar yang berputar-putar. Ia membayangkan keruntuhan gravitasi mengambil alih, menarik seluruh galaksi lebih dalam dan lebih dekat ke pusatnya. Seperti sosok pesenam indah yang berputar-putar menarik lengan ke dekat tubuh mereka, massa akan berputar semakin cepat sambil berkontraksi.
Kedipan mental singkat ini mengarah pada sebuah ilham, yang 56 tahun kemudian membuatnya dianugerahi Hadiah Nobel Fisika.
Relativis adalah fisikawan teoretis yang menguji, mengeksplorasi, dan memperluas Teori Relativitas Umum Albert Einstein. Seperti banyak relativis, Penrose menghabiskan awal 1960-an mempelajari kontradiksi yang aneh, tetapi sangat rumit yang dikenal sebagai “masalah singularitas”.
Einstein menerbitkan Teori Relativitas Umum pada tahun 1915, merevolusi pemahaman ilmuwan tentang ruang, waktu, gravitasi, materi, dan energi. Pada 1950-an, teori Einstein sangat sukses, namun banyak prediksinya masih dianggap mustahil dan tidak dapat diuji. Persamaannya menunjukkan, misalnya, bahwa secara teori keruntuhan gravitasi bisa menjejalkan cukup materi ke dalam wilayah yang cukup kecil sehingga menjadi sangat padat, membentuk “singularitas” yang bahkan cahaya pun tidak bisa lolos. Ini kemudian dikenal sebagai lubang hitam.
Tetapi dalam singularitas seperti itu, hukum fisika yang diketahui (termasuk teori relativitas Einstein sendiri yang memprediksinya) tidak berlaku lagi.
Singularitas sangat menarik bagi matematikawan relativis karena alasan ini. Akan tetapi, sebagian besar fisikawan setuju bahwa Alam Semesta kita terlalu teratur untuk menampung daerah-daerah seperti itu. Dan bahkan jika singularitas memang ada, tidak akan ada cara untuk mengamatinya.
“Ada keraguan besar untuk waktu yang lama,” kata Penrose. “Orang-orang mengira akan ada lambungan: bahwa suatu objek akan kolaps dan berputar-putar dengan rumit, kemudian muncul kembali.”
Pada akhir 1950-an, pengamatan dari bidang astronomi radio yang baru muncul, mempertanyakan ide-ide ini. Para astronom radio mendeteksi objek kosmik baru yang tampak sangat terang, sangat jauh, dan sangat kecil. Pertama kali dikenal sebagai “objek quasi-stellar” dan kemudian disingkat menjadi “quasar”, objek ini tampaknya memperlihatkan begitu banyak energi dalam ruang yang begitu kecil.
Meskipun tampaknya mustahil, setiap pengamatan baru mengarah pada gagasan bahwa quasar adalah galaksi kuno yang sedang dalam proses runtuh menjadi singularitas.
Para ilmuwan terpaksa bertanya pada diri mereka sendiri apakah singularitas ternyata tidak selangka yang dipikirkan semua orang? Apakah prediksi relativitas ini lebih dari sekedar permainan matematis yang rumit?
Di Austin, Princeton, dan Moskow, di Cambridge dan Oxford, di Afrika Selatan, Selandia Baru, India, dan di tempat lain, para kosmolog, astronom, dan ahli matematika berlomba-lomba menemukan teori definitif yang dapat menjelaskan sifat quasar.
Kebanyakan ilmuwan melihat tantangan ini dengan berusaha mengidentifikasi keadaan yang sangat terspesialisasi tempat singularitas mungkin terbentuk.
Penrose, yang saat itu menjadi dosen senior di Birkbeck College di London, mengambil pendekatan berbeda. Naluri alaminya selalu mencari solusi umum, prinsip mendasar, dan struktur matematika esensial. Ia menghabiskan waktu berjam-jam di Birkbeck, bekerja dengan papan tulis besar yang dipenuhi diagram-diagram rancangannya sendiri.
Pada tahun 1963, tim ahli teori Rusia yang dipimpin oleh Isaac Khalatnikov menerbitkan sebuah makalah terkenal yang mengkonfirmasi keyakinan sebagian besar ilmuwan – bahwa singularitas bukanlah bagian dari alam semesta fisik kita. Di alam semesta, kata mereka, awan debu atau bintang yang kolaps memang akan mengembang kembali jauh sebelum mereka mencapai titik singularitas. Harus ada penjelasan lain untuk quasar.
“Saya punya perasaan kuat bahwa dengan metode yang mereka gunakan, kecil kemungkinan mereka bisa sampai pada kesimpulan yang kuat tentang itu,” ujarnya. “Menurut saya masalah tersebut perlu dilihat dengan cara yang lebih umum daripada yang mereka lakukan, yang merupakan fokus yang agak terbatas.”
Namun, meski menolak argumen mereka, ia masih tidak bisa mengembangkan solusi umum untuk masalah singularitas. Sampai kunjungan Robinson. Meskipun Robinson juga sedang meneliti masalah singularitas, kedua sahabat itu tidak mendiskusikannya selama percakapan mereka pada musim gugur tahun 1964 di London.
Namun, dalam keheningan singkat di persimpangan jalan yang menentukan itu, Penrose menyadari bahwa ilmuwan Rusia salah.
Semua energi, gerakan, dan massa yang menyusut bersama-sama akan menciptakan panas yang begitu kuat sehingga radiasi akan meledak dalam setiap panjang gelombang ke segala arah. Semakin kecil dan cepat ia, semakin terang cahaya itu.
Dalam pikirannya, ia memetakan gambar papan tulis dan sketsa jurnal ke objek di kejauhan itu, menelusuri pikirannya untuk titik yang diprediksi para ilmuwan Rusia, titik ketika awan ini akan meledak kembali.
Tidak ada titik seperti itu. Dalam benaknya, Penrose akhirnya melihat bagaimana keruntuhan akan terus berlanjut tanpa hambatan. Di luar pusat yang semakin padat, objek akan bersinar lebih terang dari semua bintang di galaksi kita. Dan jauh di dalam, cahaya akan membelok dengan sudut-sudut yang dramatis, ruang waktu melengkung sampai setiap arah bertemu satu sama lain.
Akan ada saat ketika semua tidak bisa kembali. Cahaya, ruang, dan waktu semuanya akan berhenti sepenuhnya. Menjadi lubang hitam.
Pada saat itu, Penrose tahu bahwa singularitas tidak memerlukan keadaan khusus apa pun. Di alam semesta kita, singularitas bukanlah hal yang mustahil. Ia adalah keniscayaan.
Kembali ke seberang jalan, ia melanjutkan percakapannya dengan Robinson, dan segera melupakan apa yang tadi ia pikirkan. Mereka mengucapkan selamat tinggal, dan Penrose kembali ke awan kapur dan tumpukan kertas di kantornya.
Sisa sore itu berjalan seperti biasa, namun Penrose mendapati dirinya dalam suasana hati yang sangat baik. Ia tidak tahu kenapa. Ia mulai meninjau harinya, menyelidiki apa yang mungkin menyebabkan euforia-nya.
Pikirannya kembali ke keheningan yang dirasakannya saat menyeberang jalan. Dan semuanya datang kembali. Ia telah memecahkan masalah singularitas.
Ia mulai menulis persamaan, menguji, mengedit, mengatur ulang. Argumennya masih kasar, tetapi semuanya cocok. Keruntuhan gravitasi hanya membutuhkan beberapa kondisi energi yang sangat umum dan mudah dipenuhi, untuk runtuh menjadi kepadatan tak hingga. Penrose tahu pada saat itu pasti ada milyaran singularitas yang bertebaran di kosmos.
Itu adalah ide yang akan mengubah pemahaman kita tentang Semesta dan membentuk apa yang kita ketahui sekarang.
Dalam dua bulan, Penrose mulai memberikan ceramah tentang teorema itu. Pada pertengahan Desember, ia menyerahkan makalah ke jurnal akademis Physical Review Letters, yang diterbitkan pada 18 Januari 1965. Hanya empat bulan setelah dia menyeberang jalan dengan Ivor Robinson.
Tanggapannya tidak seperti yang dia harapkan. Teorema Singularitas Penrose diperdebatkan. Dibantahkan. Dikontradiksikan.
Perdebatan tersebut memuncak di Kongres Internasional Relativitas Umum dan Gravitasi di London akhir tahun itu.
“Perdebatan itu tidak terlalu ramah. Ilmuwan Rusia sangat kesal, dan orang-orang enggan mengakui bahwa mereka salah,” kata Penrose. Konferensi tersebut diakhiri dengan perdebatan yang belum terselesaikan.
Tapi tidak lama kemudian, terungkap bahwa makalah yang diterbitkan ilmuwan Rusia memuat kesalahan dalam perhitungannya. Matematikanya cacat fatal, tesis mereka tidak lagi dapat dipertahankan. “Ada kesalahan dalam cara mereka melakukannya,” kata Penrose.
Pada akhir 1965, Teorema Singularitas Penrose mulai populer di seluruh dunia. Inspirasi kilatnya menjadi kekuatan pendorong dalam kosmologi. Ia telah lebih dari sekadar menjelaskan apa itu quasar. Ia telah mengungkapkan kebenaran utama tentang realitas yang mendasari Alam Semesta kita.
Apa pun model Alam Semesta yang dihasilkan orang sejak saat itu harus menyertakan singularitas, berarti meliputi sains yang melampaui relativitas.
Singularitas juga mulai meresap ke dalam kesadaran publik, sebagian berkat sebutan “lubang hitam”, istilah yang pertama kali digunakan secara publik oleh jurnalis sains Amerika Ann Ewing.
Stephen Hawking terkenal menjadikan teorema Penrose sebagai dasar untuk membalikkan teori tentang asal-usul alam semesta setelah pasangan tersebut bekerja sama dalam meneliti singularitas. Singularitas menjadi sentral dari setiap teori tentang sifat, sejarah, dan masa depan Alam Semesta.
Para eksperimentalis mengidentifikasi singularitas lain, termasuk yang ada di jantung lubang hitam hipermasif di pusat galaksi kita sendiri yang ditemukan oleh Reinhard Genzel dan Andrea Ghez, yang berbagi Hadiah Nobel Fisika dengan Penrose tahun ini.
Penrose sendiri kemudian mengembangkan sebuah alternatif dari Teori Big Bang yang dinamakan Conformal Cyclic Cosmology, buktinya bisa didapatkan dari sisa sinyal dari lubang hitam kuno.
Pada 2013, insinyur dan ilmuwan komputer Katie Bouman memimpin tim peneliti yang mengembangkan algoritme yang mereka harapkan bisa memotret lubang hitam. Pada April 2019, teleskop Event Horizons menggunakan algoritme tersebut untuk menangkap gambar pertama lubang hitam, memberikan konfirmasi visual dari teori Einstein dan Penrose yang dahulu kontroversial.
Meskipun Penrose, yang kini berusia 89 tahun, senang dianugerahi penghargaan tertinggi dalam bidang fisika, Hadiah Nobel, tetapi ada hal lain yang menekan pikirannya.
“Rasanya aneh. Saya baru saja berusaha menyesuaikan diri. Saya sangat tersanjung dan ini merupakan kehormatan besar dan saya sangat menghargainya,” katanya kepada saya beberapa jam setelah menerima kabar.
“Namun di sisi lain, saya mencoba menulis tiga makalah (ilmiah) yang berbeda pada saat yang sama, dan penghargaan ini membuatnya jadi lebih sulit dari biasanya.”
Telepon di rumahnya, ujarnya, terus berdering dengan orang-orang yang memberinya selamat dan wartawan yang meminta wawancara. Dan semua keributan itu mengalihkan perhatiannya dari fokus pada teori-teori terbarunya.
Penrose tahu lebih baik daripada siapa pun tentang kekuatan keheningan, dan kilasan ilham yang dapat diberikannya.
Penulis: Patchen Barss, Jurnalis sains yang berbasis di Toronto dan penulis biografi Roger Penrose. Sumber; BBC Indonesia